Tidak ubahnya dengan kesukan, setidaknya itulan dampak yang ditimbulakan oleh Nasionalisme. Paham yang satu ini bak pisau bertama dua, di satu sisi menanamkan cinta tanah air, tetapi disisi lain justru menjadi kotak pemisah ras yang sudah seringkali menjadi sumber konflik.
Isu sara memang selalu menjadi sumber banyak konflik. Begitu juga dengan ras yang hingga saat ini tidak selesai di Amerika yang konon dikatakan sebagai negara paling demokratis. Tidak perlu jauh kesana, kita ingat betul kasus ras yang ada di Sampit antara suku Madura dan Suku Dayak waktu itu. Berapa ribu orang yang telah melayang hanya karena gara - gara faktor ras. Sudah terbukakah pikiran kita akan hal itu.
Lalu apa hubunganya dengan nasionalisme. Nasionalisme dalam sejarahnya adalah siasat politik yang diterapkan oleh Ingris dalam memporak-porandakan Timur Tengah. Geramnya mereka dengan kekuasan Turki Usmani membuat para penjajah harus memutar otak. Isu ras diangkat di wilayah tersebut, termasuk di Turki sendiri.
Premis yang diangkat "situ orang turki kenapa pakai Bahasa Arab" terdengar begitu sederhana, tetapi begitu tajam. Alhasil setiap bangsa yang ada di timur tengah memisahkan diri Turki karena mereka setiap bangsa merasa punya perbedaan yaitu nasionlisme. Setela porak - poranda, para penjajah ini pun bagi - bagi hasil wilayah. Bukan dengan menjadikan negara - negara tersebut menjadi wilayah jajahan atau kesemakmuran, tetapi justru malah memerdekakan mereka dengan memberikan bendera. Kenapa begitu, karena nasionalisme sudah sukses dan tidak ada lagi persatuan umat Islam disana.
Konsepsi inilah yang sebenarnya menjadi senjata mereka hingga saat ini. Seolah manusia memiliki konsep cinta tanah air, tetapi sebenarnya "monopoli makna" dibuat oleh mereka yang telah mencetuskanya. Ingat paham ini bukan berasal dari ajaran agama bahkan jelas - jelas pemikiran barat. Masih kita mau mengunyahnya mentah - mentah.
Ideologi bahasa tidak bisa serta merta dipandang secara objektif. Makna tulen tentu berasal dari si pemiliki bahasa. Sekalipun tidak, kita harus mampu menakarnya.
Apabila suku - suku dalam suatu bangsa, maka dapat dikatakan isu masih dalam tataran nasional. Konfilk terjadi dalam negara itu sendiri. Apabila setiap bangsa adalah satu suku yang dibungkus dalam nasiolisme tadi maka inilah isu ras internasional.
Bahkan dua saudara dekat sampai hari ini pun tidak pernah akur yaitu antara Korea Utara dengan Korea Selatan. Di negeri kita sendiri, tentu masih ingat kan konflik dengan Malyasia yang notabene masih sama - sama rumpun melayu.
Sudah sangat jelas bahwa ras justru akan menimbulkan konflik, manusia tidak akan bisa disatukan dari sudut pandang ras. Apalagi kalau ras yang diangkat adalah level internasional. Bisa saja saat PakDe Sam memporak - porandakan Palestine bangsa lain diam saja, padahal mereka adalah saudara kita. Malah tidak sedikit yang berkata "yang penting tidak disini" suatu premis yang sudah benar - benar tertanam didalam bawah sadar manusia. Belum lagi jika terjadi di dalam negeri, misal di tempat A ada gempa, maka tidak sedikit yang berkata "yang penting disini aman". Inilah virus - virus yang menggerogogi otak manusia.
Paham nasionalisme tidak ada bedanya dengan paham kesetaraan gender, emansipasi wanita, hak asasi manusia, demokrasi, matrialisme, maksime, sosialisme, kapitalisme, dan lain sebagainya yang dibungkus seolah menjadi solusi tetapi sebenarnya benar - benar menggerogoti.
Isu sara memang selalu menjadi sumber banyak konflik. Begitu juga dengan ras yang hingga saat ini tidak selesai di Amerika yang konon dikatakan sebagai negara paling demokratis. Tidak perlu jauh kesana, kita ingat betul kasus ras yang ada di Sampit antara suku Madura dan Suku Dayak waktu itu. Berapa ribu orang yang telah melayang hanya karena gara - gara faktor ras. Sudah terbukakah pikiran kita akan hal itu.
Lalu apa hubunganya dengan nasionalisme. Nasionalisme dalam sejarahnya adalah siasat politik yang diterapkan oleh Ingris dalam memporak-porandakan Timur Tengah. Geramnya mereka dengan kekuasan Turki Usmani membuat para penjajah harus memutar otak. Isu ras diangkat di wilayah tersebut, termasuk di Turki sendiri.
Premis yang diangkat "situ orang turki kenapa pakai Bahasa Arab" terdengar begitu sederhana, tetapi begitu tajam. Alhasil setiap bangsa yang ada di timur tengah memisahkan diri Turki karena mereka setiap bangsa merasa punya perbedaan yaitu nasionlisme. Setela porak - poranda, para penjajah ini pun bagi - bagi hasil wilayah. Bukan dengan menjadikan negara - negara tersebut menjadi wilayah jajahan atau kesemakmuran, tetapi justru malah memerdekakan mereka dengan memberikan bendera. Kenapa begitu, karena nasionalisme sudah sukses dan tidak ada lagi persatuan umat Islam disana.
Konsepsi inilah yang sebenarnya menjadi senjata mereka hingga saat ini. Seolah manusia memiliki konsep cinta tanah air, tetapi sebenarnya "monopoli makna" dibuat oleh mereka yang telah mencetuskanya. Ingat paham ini bukan berasal dari ajaran agama bahkan jelas - jelas pemikiran barat. Masih kita mau mengunyahnya mentah - mentah.
Ideologi bahasa tidak bisa serta merta dipandang secara objektif. Makna tulen tentu berasal dari si pemiliki bahasa. Sekalipun tidak, kita harus mampu menakarnya.
Apabila suku - suku dalam suatu bangsa, maka dapat dikatakan isu masih dalam tataran nasional. Konfilk terjadi dalam negara itu sendiri. Apabila setiap bangsa adalah satu suku yang dibungkus dalam nasiolisme tadi maka inilah isu ras internasional.
Bahkan dua saudara dekat sampai hari ini pun tidak pernah akur yaitu antara Korea Utara dengan Korea Selatan. Di negeri kita sendiri, tentu masih ingat kan konflik dengan Malyasia yang notabene masih sama - sama rumpun melayu.
Sudah sangat jelas bahwa ras justru akan menimbulkan konflik, manusia tidak akan bisa disatukan dari sudut pandang ras. Apalagi kalau ras yang diangkat adalah level internasional. Bisa saja saat PakDe Sam memporak - porandakan Palestine bangsa lain diam saja, padahal mereka adalah saudara kita. Malah tidak sedikit yang berkata "yang penting tidak disini" suatu premis yang sudah benar - benar tertanam didalam bawah sadar manusia. Belum lagi jika terjadi di dalam negeri, misal di tempat A ada gempa, maka tidak sedikit yang berkata "yang penting disini aman". Inilah virus - virus yang menggerogogi otak manusia.
Paham nasionalisme tidak ada bedanya dengan paham kesetaraan gender, emansipasi wanita, hak asasi manusia, demokrasi, matrialisme, maksime, sosialisme, kapitalisme, dan lain sebagainya yang dibungkus seolah menjadi solusi tetapi sebenarnya benar - benar menggerogoti.
Posting Komentar untuk "Nasionalisme: Isu Ras Level Internasional"
Terimakasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar