Emansipasi wanita bukan lagi hal baru, bahkan istilah ini bukan lagi sekedar tagline bahkan bertansformasi menjadi budaya. Apakah betul emansipasi wanita adalah dengan menempatkanya pada posisi yang setara dengan pria. Bahkan kini, wanita yang tidak bekerja seolah menjadi aib dan kegagalan. Bukankah manusia memang diciptakan berbeda untuk saling melengkapi. Manusia harus bisa bersikap secara objektif dan menilik dampak kesetaran secara luas dan mendalam.
Sumber: educenter.id |
Stigma negatif seringkali muncul ketika seorang wanita tidak bekerja. Bukan hanya dilontarkan oleh pria, bahkan para wanita modern ini pun juga berujar "kerja dimana". Emansipasi wanita sudah sangat sukses merasuk ke alam bawah sadar manusia. Wanita yang yang tidak bekerja (sektor formal) berubah menjadi pandangan yang kurang mengenakan. Sebagai kaum post modern harusnya mampu menilik lebih dalam lagi bagaimana urgensinya, bukan malah terbawa arus yang sebenarnya hanyalah ikut - ikutan dari tren barat.
Bukankah manusia diciptakan berbeda - berbeda. Pria dan wanita itu sudah mutlak berbeda. Secara fisik pun berbeda, terlebih secara psikis. Pria tidak mengandung, sedangkan wanita harus mengandung, hamil, menyusui, dan merawat anak. Itu pun baru segelintir contoh. Seringkali kita juga mendengar bahwa "yang beda tidak perlu disama - samkan, dan yang sama tak perlu dibedakan". Dalam kutipan ayat "meniklah untuk menyempurnakan iman" dalam arti kesempurnaan hidup dapat dilengkapi ketika ada suatu keutuhan antara seorang laki - laki dan perempuan. Maka dari hal ini jelas bahwa perbedaan dari kedua untuk saling menyempurnkan bukan untuk saling mengimbangi. Memang benar adanya dan sudah banyak istilah bahwa hadirnya emansipasi wanita bukan untuk menyeimbagi pria, tetapi bagaimana faktnya. Kita tidak berkutat pada hal pekerjaan atau dokrin akan pekerjaan saja, lebih objektif lagi adalah bagaimana dampaknya. Bukankah manusia sudah punya fitrahnya.
Emansipasi yang saya tafsirkan dari hadirnya Kartini bukan lah untuk kesataran seperti yang terjadi seorang. Titik beratnya adalah bagaimana seorang wanita itu harus menjadi kaum terdidik. Berpendidikan tinggi itu pun wajib, bahkan pria pun juga lebih suka wanita yang berpendidikan. Seorang ibu yang cerdas maka akan menghasilkan generasi yang cerdas. Hal ini bukan hanya karena faktor kromosonya saja, tetapi bagiamana mendidiknya. Keluarga adalah pendidikan pertama bagi anak dan ibu adalah madrasah bagi anak "wahai ukhti pendidikan mu yang tinggi bukan menjadikan mu sebagai karyawati, tetapi menjadi madarash terbaik bagi putra - putri" kurang lebih seperti itulah kutipanya. Oleh sebab itu, emansipasi wanita yang disuarakan Kartini adalah bagaimana wanita bisa mengenyam pendidikan sama halnya dengan kaum pria. Hal ini pun sudah sukses, akan tetapi stigmanya adalah ketika sudah mengenyam pendidikan tinggi justru jadi bumerang "sudah kuliah tinggi - tinggi kok gak bekerja".
Pendidikan anak bukan lah hal yang sederhana. Kita sering mendegar "untuk menghancurkan suatu negara maka hancurkanlah anak". Hancurnya suatu negara suatu negara tidak lagi dengan genjatan senjata, pasca perang dunia dunia, negara barat telah merubah strateginya bukan lagi perak fisik, teapi lebih pada gempuran terhadap generasi penerus yang notabene sama - sama menghancurkan suatu negara. Rusaknya generasi penerus dimulai dengan hancurnya keluarga, sedangkan kunci dari pendidikan anak yaitu ibu harus luluh lantakan terlebih dahulu, yakni dengan emansipasi wanita. Dengan berdalih kesetraan yang pada ujunngnya menjadi kebablasan maka saat ibu sibuk berkarir terus siapa yang akan mengurus anak, mendidiknya, memberi kasih sayang, dan merawatnya. Kita tahu bahwa anak - anak yang lahir dikeluarga brokenhome menjadi sosok yang tidak terkontrol. Hal ini pun juga sama ketika anak tidak mendapatkan pendidikan madrasahnya. Sebagian justur malah dititipkan kepada Ibunya, yang sudah repot merawat anak, eh kin tambah meawat cucu, kalangan cukup mampu menitipkan kepada pembantunya, dan ada yang dibiarkan dengan tetap sibuk berkarir. Pada tahap ini, anak - anak menjadi bersikap materalistis hanya berorientasi pada materi, lalu menjadi anak yang sulit diatur, nakal, mencari kasih sayang ditempat lain, bahkan bisa berdampak pada tindak asusila sejak dini. Apakah hal ini terjadi begitu saja? saya rasa tidak, ada skenario yang bisa saja disutradarai oleh konspirasi global.
Wanita sebenarya memiliki nilai tawar yang begitu tinggi. Menganggap wanita dirumah tidak bekerja adalah salah. Ada segudang pekerjaan yang mereka lakukan dari pagi hari hingga petang. Bukan hanya sektor domestik tetapi juga pada sektor edukasi tadi. Bahkan wanita adalah mahluk yang multitasking. Tanpa kehadiranya, bagaimana jadinya suatu keluarga baik anak dan suami. Ketika kedua orang tua sama - sama sibuk diluar terus siapa yang akan memperhatikan rumah, isi, dan buah hatinya. Percayakah anda pada pembantu anda. Tidak semua aspek dapat dilakukan oleh asisten rumah tangga terlebih menyangkut anak.
Ketika kaum wanita kita berlomba - lomba menduduki karir yang tinggi dan melupakan keluarga, ternyata kita paham itu sudah tidak berlaku lagi. Emanispasi wanita yang diadopsi dari barat tersebut bahkan kini tidak dilakukan oleh mereka. Justru anak - anak bule banyak dididik oleh ibunya sendiri. Ya anak - anak tersebut mendapatkan pendidikan home schooling, dan sang pendidik adalah ibunya sendiri. Hal inipun sudah berlaku di Amerika dan Australia. Dengan demikian, bukankah kita hanya mengekor, sedangkan yang kita tiru justru sudah tidak menerpakan gagasan tersebut. Bahkan peran ibu sebagai pendidik bagi putra putrinya yang terbalut dalam kebijakan home schooling ini sudah tertata rapi disana. Bukan hanya bahan ajar dan kurikulumnya, tetapi ijazahnya pun. Ijazah ini pun setara dengan ijazah sekolah formal dan laku untuk mendaftar di univeristas. Bagaimanakah dengan kita, sudah kah jika di sana sudah terstruktur dari hulu hingga ke hilir mampu kah kita kembali ke timur.
Posting Komentar untuk "Emansipasi Wanita yang Kebablasan"
Terimakasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar